Kamis, 23 Juli 2009

MEREKA BILANG AKU GILA


Ketika segenggam kegilaanku lebih baik dibandingkan dengan sekeranjang kewarasan yang dimiliki oleh berjuta miliar orang di dunia ini, aku pun tersenyum bahagia.

Kala pagi hari kusambut dengan tawa riuh sambil berlari di bawah mentari. Mereka pun mencibiri diriku. Mereka bilang aku gila karena tidak sadarkan diriku di dunia yang penuh dengan kenyataan, itu kata mereka. Mereka bilang aku tak berguna. Aku hanya membuang waktu percuma dengan tertawa dan tertawa. Bahkan tiada satupun orang akan mau menemaniku bila aku terus begini, itu kata mereka. Harusnya aku membersihkan diri dari segala kotoran yang menempel di tubuhku. Aku jorok, itu kata mereka. Sebaiknya aku mulai menggunakan otakku dengan bekerja dan mendapatkan penghasilan, itu kata mereka. Dan aku tidak peduli.

Saat mentari memperlihatkan keperkasaannya di bumi. Membuka tabir awan dan membiarkan lengan-lengan lelah itu legam. Membiarkan wajah-wajah cantik itu memerah kepanasan. Dan aku pun duduk di pinggiran kolam yang terdapat di tengah-tengah pusat kota. Ratusan bahkan ribuan kendaraan melintas di depan hidungku. Derap langkah kaki para manusia yang mengatakan dirinya sebagai aktivis. Bahkan aku tak tahu benarkah mereka itu aktivis. Aku tidak peduli siapa mereka. Yang terpenting mereka selalu berjalan dengan derap kaki yang cepat seolah tak mau tertinggal. Tertinggal? Kadang aku bertanya pada mereka ’Apa yang sedang kau kejar?’ tapi sayangnya bagi mereka aku adalah orang yang tak berguna. Orang sakit jiwa karena terus menerus tertawa dan entah kadang aku sangat bahagia untuk bisa sekedar mengobrol dengan Dhedot, kucingku. Bagi mereka, bila siang tiba aku harusnya beristirahat dan makan siang di kantin atau kafe terenak yang pernah ada. Tapi, jika aku lapar sepertinya selalu ada delivery yang hadir untukku. Disana selalu tersedia beberapa kotak yang berwarna-warni, tempatnya pas di dekat kantor para aktivis itu bekerja. Tepatnya sebuah tempat yang cukup luas, lantainya disemen rapi, dindingnya juga begitu, tapi tidak ada atapnya dan tempat ini merupakan tempat favorit teman-teman Dhedot untuk berkumpul karena tiap sore orang-orang itu melemparkan makan siangnya pada kami. Menurut mereka kantinku itu bernama TPS (Tempat Pembuangan Sampah). Dan aku tidak peduli. Yang terpenting aku menikmati wisata kulinerku di sana bersama dengan Dhedot dan teman-temannya.

Bila langit mulai merona, kulihat beberapa orang, entah mereka aktivits atau artis, sedang melakukan pemanasan di sebuah bukit kecil di tengah kota. Kata mereka agar tubuh mereka selalu sehat dan bisa bekerja setiap hari. Hehehe. Aku terkekeh melihat salah seorang dari mereka sangat giat dalam mendaki bukit itu. Serasa gempa bila ia berlari. Dan ia langsung menatap marah padaku. Mengusirku tuk menjauh dan tidak memperhatikannya. Harusnya dia biasa saja dong, kan aku orang gila. Bukankah begitu? Ada lagi seorang pria tampan melihat kehadiranku sembari berkata dengan teman wanitanya, ’Coba dia memperhatikan dirinya dulu, pasti dia tidak akan menjadi orang gila’. Dan sang wanita hanya dapat mengiyakan pernyataan pria itu. Yang ada di otaknya hanyalah agar bisa berjalan berdampingan dengan pria tampan tersebut. Hehehe. Ternyata wanita itu sama saja. Waras tapi gila.

Dingin mulai menusuk tulangku. Kali ini aku semakin bergairah untuk tertawa dan bernyanyi riang di bawah naungan bulan karena temanku di atas langit sedang memperhatikanku. Kelap kelip matanya menggodaku. Namanya Bintang. Tiba-tiba suara motor menderu dan merusak ketenanganku. Seorang pria mengendarai motornya dengan kencang, hampir menyerempetku. Lalu dia bilang aku adalah A***ng. Aku hanya terdiam. Dan batinku berkata, kalau aku begitu lalu kau sendiri apa? Tapi biar sajalah aku di olok begitu, yang gila wes ngalah.

Aku mengantuk. Aku pun mulai mencari tempat peristirahatanku yang terindah dan ternyaman. Beralaskan rumput alami, bukan sintetis yang di buat orang. Beratapkan langit yang menurutku, Pelukisnya pastinya sangat hebat, Ia bisa membuat lukisan seindah ini di langit, bahkan kalau ada lelang lukisan, pastinya lukisannya akan sangat mahal sekali, tidak bisa dibayar dengan rupiah ataupun dollar.

Kali ini kunikmati hari. Mulai pagi tadi aku sudah bertemu dengan berbagai macam orang hingga malam pun aku menemui orang yang menurutku ia bodoh sekali karena tidak bisa membedakan antara manusia dengan hewan. Jelas-jelas aku berkaki dua dan tidak menggonggong. Ada-ada saja.

Selama aku mendengar cercaan hingga hinaan dari mereka, seorang aktivis maupun seorang artis, aku tidak sedih karenanya. Bahkan ada rasa bangga menjadi seorang yang gila. Karena ternyata apa yang mereka kerjakan hanyalah untuk mereka saja, jika dunia ini adalah kue brownies, mereka pasti sudah melahap dengan rakusya. Kepuasan mereka adalah ketidakpuasan. Haus. Lapar. Bahkan kadang-kadang di imajinasiku melihat mereka saling gigit. Ada yang menggigit lengan kawannya. Ada yang menggigit kuping temannya, bahkan ada yang mau memotong-motong tubuh sahabatnya sendiri. Takut!!! Semakin takut aku menjadi mereka. Semakin bahagia aku menjadi orang gila. Semakin bersyukur aku jadi gila.

BY: Fiyati Utami
Kabid. Pemberdayaan Perempuan
Samarinda, 24 Juli 2009

Tidak ada komentar: