Minggu, 26 Juli 2009

PENDIDIKAN UNTUK PEREMPUAN


Puji syukur semoga senantiasa terlantun ke hadirat Allah SWT. Atas rahmat dan karunia-Nya , saat ini kita masih diberi kesempatan untuk menghirup nafas kehidupan dan melakukan berbagai kerja kemanusian kita.

Kita hanya dapat berharap bahwa kita dapat melewati masa sulit ini dan membangun kembali kekuatan kita untuk membangun kembali puing-puing peradaban yang semapat porak poranda. Dan pendidikan merupakan satu titik perhatian yang tidak boleh kita lupakan dalam kerangka upaya membangun kembali peradaban itu.

Pesantren merupakan salah satu pilar pendidikan yang mendapatkan amanah untuk mendidik dan mencerahkan umat manusia. Tak bisa dipungkiri, bahwa pesantren menempati posisi penting dan strategis dalam khasanah pendidikan Islam. Berbagai ajaran, spirit keagamaan, semangat keikhlasan, kemandirian dan perjuangan membangun umat merupakan concern pesantren yang walau bagaimanapun akan selalu tetap dipertahankan meskipun trend modernisme yang serba materialistik dan hedonistik tengah menyerbu. Melalui seminar ini, kami hanya ingin berbagi pengalaman tentang upaya membangun nuansa keadilan antara lelaki-perempuan sebagai salah satu ibadah mu’amalah yang menjadi ajaran Islam selama ini. Dalam kesempatan ini, saya ingin mengisahkan bentuk perhatian dan upaya yang kami lakukan melalui pendidikan terutama bagi pemerataan akses keadilan bagi lelaki perempuan bersama teman-teman dalam keluarga besar dan komunitas Pesantren Cipasung Tasikmalaya.

I. Mengenal Pesantren Cipasung

Pesantren Cipasung didirikan pada tahun 1931 oleh Almarhum K.H. Ruhiat. Pesantren ini terletak di kampung Cipasung Desa Cipakat Kecamatan Singaparna kabupaten Tasikmalaya. Pada awal berdirinya di tahun 1931, Pesantren Cipasung hanya memiliki 40 orang santri putera dan beberapa ‘santri kalong’. ‘Santri kalong’ adalah istilah untuk santri yang hanya mengikuti pengajian malam hari saja dan pada siang harinya mereka beraktifitas di rumahnya masing-masing.Pada tahun 1937,di Pesantren Cipasung didirikan Kursus Kader Muballighin Wal Musyawirin, yakni suatu ajang latihan berpidato dan bermusyawarah.Kursus yang diadakan setiap malam Kamis ini bertujuan menyiapkan kader-kader mubaligh Islam.Pada tahun 1942, di masa pemerintahan Jepang,

Pesantren Cipasung melakukan langkah progresif dengan memberikan kesempatan kepada para santri perempuan untuk mengikuti pengajian kitab-kitab yang ‘besar’, yang sebelumnya hanya dapat mengikuti pengajian kitab-kitab ‘menengah’ saja. Salah seorang angkatan pelopornya adalah Hj. Suwa, yang kemudian menjadi pengajar kitab tingkat lanjutan (seperti Fathul Mu’in dan Alfiah) di Pesantren Cipasung baik bagi santri laki-laki maupun santri perempuan.

Tokoh angkatan berikutnya adalah Hj.Nonoh Hasanah yang menjadi pendiri dan pengasuh pondok Pesantren Putri Cintapada Tasikmalaya. Selanjutnya pada tahun 1943 diadakan juga ajang latihan berpidato untuk santri perempuan yang disebut Kursus Kader Mubalighoh.Langkah yang dilakukan Abah KH. Ruhiat menjadikan Pesantren Cipasung semakin terkenal disamping karena reputasi kelimuan KH. Ruhiat yang diakui dikalangan ulama sekaligus tokoh NU yang disegani khususnya di Jawa Barat juga tradisi mencetak kiayi di Pesantren cipasung di anggap berhasil dibuktikan dengan banyaknya alumni yang menjadi tokoh agama dan masyarakat bahkan mendirikan pesantren sekaligus memimpinnya. Hambali Ahmad tokoh besar Muhammadiyah, Dr.KH.Mutaqien, KH. Ilyas Ruhiat untuk menyebut beberapa nama.Setelah kemerdekaan Bangsa Indonesia, pesantren Cipasung mengembangkan pendidikannya dengan mendirikan sekolah pada tahun 1948 didirikan sekolah pendidikan Islam yang disamping mengajarkan pelajaran agama yang biasa diajarkan pesantren juga diajarkan pengetahuan umum. Pada tahun 1953 menjadi sekolah Menengah Islam Pertama (SMIP) ,kemudian sekolah Rakyat Islam ( SRI ) yang sekarang menjadi Madrasah Ibtidaiyah ( MI ) disusul tahun 1959 didirikan SMAI dan pada tanggal 25-09-1965 berdiri Fakultas Tarbiyah Perguruan Tinggi Islam (PTI) Cipasung yang kemudian menjadi IAIC.

Pada tahun 1969 didirikan pula Sekolah Persiapan IAIN yang pada tahun 1978 menjadi Madrasah Aliyah Negeri ( MAN ) Cipasung; pada tahun 1992 Madrasah Tsanawiyah; tahun 2002didirikan pula Raudhatul Athfal, sehingga sampai tahun 2003 jumlah siswa dan mahasiswa sebanyak 5772 orang, yang berada di Asrama sebanyak 861 siswa santri putra dan 863 santri putri yang dikelola dalam 11 Asrama putera dan 11 asrama puteri. Pada tanggal 17 Dzulhijjah 1397/18 November 1977, Abah Ajeungan KH.Ruhiat meninggal dan pimpinan pesantren dipegang oleh KH. Moh Ilyas Ruhiat.

Pada garis besarnya pendidikan di pondok pesantren Cipasung, formal, informal dan non formal,juga mengembangkan aspek ekonomi ( Koperasi ) Pendidikan latihan keterampilan dan perpustakaan yang bekerja sama dengan LP3ES,P3M, Rahima dsb.Dengan perkembangan yang demikian pondok pesantren Cipasung, telah mempunyai garis besar kebijakan pesantren yang kemudian disempurnakan menjadi pola dasar dan pembinaan Pondok Pesantren Cipasung yang berasaskan (1)Tafaqquh fid dien (2) Da’wah, (3)Taawaun, (4) Musyawarah, (5) Ukhuwah Islamiyah, dan bertujuan jangka panjang membina dan mengembangkan ketawaan kepada Allah mengembangkan keilmuan yang bermanfaat dan pengabdian terhadap agama masyarkat dan negara dengan sasaran pengembangan 10 tahunan memiliki standar pendidikan yang baik dengan mengembangkan pendidikan dengan sistem terpadu dan metodhe pendidikan yang baru,menjalin kerja sama dengan berbagai pihak dalam rangka peningkatan mutu efektifitas pendidikan, untuk mencapai tujuan tersebut telah didirikan Yayasan Pesantren Cipasung,sejak tanggal 21 Agustus 1967.

Kurikulum untuk sekolah formal mengikuti kurikulum nasional sedang kitab yang dipelajari di pesantren masih mempertahankan kitab klasik baik dibidang Aqidah, Fiqh maupun Tasauf, yang jika dianalisa secara kritis citra dan potret perempuan dalam kontruksi diskursus keislaman klasik khususnya fiqih diwarnai dengan beragam ketidakseimbangan relasi gender.

Berikut adalah beberapa citra dan potret perempuan dalam diskursus keislaman klasik.

1. Perempuan secara hukum dinilai sebagai mahluk setengah laki-laki( waris, berdasar QS Annisa :7)

2. Perempuan sebagai makhluk tidak sempurna,lemah kemampuan intelektualnya tidak mampu menguasai gejolak emosional, berfikir irrasional, karena itu menurut An-Nawawi perempuan tidak boleh menjadi hakim,tidak boleh menjadi pemimpin publik ( QS.Annisa: 34 )

3. Perempuan adalah mahluk penggoda dan mudah tergoda oleh bujuk rayuan, karena itu perempuan dilarang memakai wewangian selain untuk suaminya dll.

4. Perempuan adalah mahluk yang lemah dan tidak cukup mandiri untuk mengurus dirinya sendiri, sehingga dalam banyak aktivitas hukum, mereka dipandang masih membutuhkan represitasi dan bimbingan laki-laki sebagai wali ( menikah harus pakai wali, pergi haji harus ada mahram)

5. Perempuan adalah makhluk yang ditakdirkan untuk mendampingi laki-laki karena dia diciptakan dari tulang rusuk Adam, Oleh karena itu tugas utama perempuan adalah melayani kebutuhan suaminya.

6. Secara sosial ramah perempuan adalah domestik dan ranah laki-laki adalah publik ( laki-laki adalah kepala keluarga,istri ibu rumah tangga, suami berkewajiban menyediakan segala kebutuhan istri dan keluarga-nya. Dunia laki-laki adalah publik,produksi diluar rumah,perempuan di dalam rumah,dunia pelayanan dan reproduksi. Kurikulum di Pesantren Cipasung tidak membedakan antara santri putera dan santri puteri. Pada masing-masing tingkatan, mereka hanya dipisahkan tempat belajarnya saja. Kitab yang dipelajari juga tidak ada yang khusus laki-laki ataupun khusus perempuan. Kegiatan ekstra kurikuler (seperti diskusi reguler, latihan berpidato, olah raga, seni baca Al-Qur’an, kaligrafi, keterampilan berbahasa Arab dan Inggris) dapat diikuti oleh setiap santri dan memperoleh bimbingan yang setara.

II. Kedudukan, peran dan hak-hak perempuan dalam Islam

Citra dan potret perempuan dalam konstruksi diskursus ke-Islaman klasik seperti dipaparkan sebelumnya, sangat bertentangan dengan semangat perwahyuan Al-Qur’an. Al-Qur’an sendiri mengajarkan bahwa Islam datang untuk memberikan kebahagiaan dan kedamaian hidup (rahmatan lil alamin) bagi seluruh manusia tanpa membedakan jenis kelamin, suku, bangsa,dan variabel-variabel struktur sosial lainnya (QS Al-Hujurat :13), walau secara teknis melalui pendekatan kebahasaan, budaya dan sosial, Al Qura’an terkesan telah menggariskan perangkat normatif yang memberikan ketentuan hukum yang berbeda kepada laki-laki dan perempuan.

Prinsip moral keadilan mengajarkan bahwa Allah tidak mungkin bersikap diskriminatif terhadap setiap hambaNya. Teori hukum Islam mengajarkan bahwa seorang mukallaf hanya bertanggung jawab terhadap segala aturan hukum yang dia lakukan secara sengaja dan sadar, artinya tidak logis jika harus bertanggung jawab terhadap tindakan yang tidak kita pilih, menjadi laki-laki atau perempuan. Jika itu diterima sebagai suatu postulat kebenaran dan hukum artinya kita harus menerima suatu

kesimpulan bahwa ketimpangan gender sudah terbentuk sejak zaman azali, kebenaran asumsi ini bertentangan dengan universalitas keadilan Allah.Kedua alasan tadi mengajarkan kepada kita bahwa perlakuan dan pembebanan hukum yang berbeda kepada laki-laki dan perempuan tidak dapat diterima menurut logika keadilan Allah dan asas pertanggungjawaban.

Oleh sebab itu ketentuan dan pembebanan hukum yang berbeda antara lak-laki dan perempuan walau dikatakan bersumber pada Al Qur’an bukan konstruksi ilahiyah, tetapi ia lebih sebagai produk historis (sosial budaya) dimana sejarah Islam diterjemahkan ke dalam bahasa sosial budaya tertentu.

Kaidah Fiqhiyah menyebutkan bahwa hukum berubah seiring dengan pergerakan perubahan waktu. Eksistensi ketentuan hukum berotasi sesuai dengan alasannya. Kaidah ini secara implisit menegaskan bahwa ketentuan hukum bukan suatu ketetapan azali yang didasarkan pada faktor biologis yang bersifat kodrati. Perbedaan hukum seseungguhnya merupakan fenomena sosial; budaya (terkadang politik); persoalan kemanusiaan dalam upaya hidup mendunia.Dimensi teologi Islam yang membedakan ketentuan hukum bagi laki-laki dan perempuan yang bahkan secara teknis ditampakkan dan dibaha-sakan dalam struktur linguistik bahasa dan relativitas budaya yang diterima Al-Qur’an; tidak harus dipahami sebagai perbedaan yang bersifat kodrati yang mengacu pada faktor biologis manusia tetapi sebagai proses hidup manusia mendunia.

Pemikiran yang dipaparkan tadi telah diproduksi dan direproduksi melalui pesantren, yang disatu sisi seakan ketentuan tersebut tidak dapat berubah, tetapi kaidah hukum (ushul fiqh) yang juga dipelajari di pesantren memberi peluang untuk adanya perubahan. Oleh karena itu Pesantren Cipasung dalam hal ini Nahdina (sebuah forum kajian dan sosialisasi hak perempuan) berupaya untuk menekuni hal tersebut sebagai tindakan penguatan wacana dan melakukan proses perubahan dan penyadaran.

Langkah-langkah yang telah dilakukan Nahdina adalah sebagai berikut :

1. Penguatan lembaga sebagai arena penambahan,pemantapan dan penya-maan wawasan dengan cara melakukan pertemuan rutin guru-guru pesantren yang telah mendapatkan pelatihan. Pertemuan yang dilakukan setiap bulan sekali ini bertujuan untuk bertukar pikiran dan informasi melalui diskusi secara bergiliran.

2. Memperluas jaringan melalui pembentukan jaringan (network building) Kajian Penguatan Hak Perempuan Tasikmalaya. Jaringan ini beranggo-takan organisasi massa berbasis Islam (Muslimat NU, Fatayat NU, Aisyiah Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiah, Kohati, Persistri) dan LSM yang peduli terhadap pemberdayaan perempuan.

3. Sosialisasi untuk menyemakan wawasan melalui pengajian rutin, intergrasi dengan mata pelajaran baik di sekolah maupun di pesantren.

4. Menerjemahkan istilah gender ke dalam bahasa yang lebih akrab dengan budaya Sunda atau dengan menyeberkan dalam bentuk syair-syair yang biasa dikumandangkan saat menjelang pengajian (shalawat gender).

Sangat disadari bahwa langkah-langkah tersebut baru merupakan langkah wal dan kecil, tapi menyadari bahwa jika tidak dilakukan secara terus menerus, harapan bahwa perempuan akan dihargai sebagai manusia yang sama terhormatnya dengan manusia dengan jenis kelamin lain ketika Allah menciptakannya, hanya akan menjadi impian utopia yang takkan pernah terwujud.Melalui tulisan ini aku ingin mengatakan mimpiku membikin sebuah pesantren dengan tetap mempertahankan nilai-nilai luhur kepesantrenan (ikhlas, sederhana, zuhud, wara’, mandiri, dsb.), dengan spesifikasi pember-dayaan dan penguatan perempuan di bidang informasi, terutama biang ilmu agama yang selama ini ‘dikuasai’ laki-laki. Semoga, aamiin…

Source: djudju zubaidah 31 May 08
By: Fiyati Utami

Kabid Pemberdayaan Perempuan

HMI Komisariat Tarbiyah STAIN SMD

Tidak ada komentar: